Humanistik
Eksistensial
Istilah
psikologi humanistik (Humanistic
Psychology)
diperkenalkan oleh sekelompok ahli psikologi yang pada awal tahun
1960-an bekerja sama di bawah kepemimpinan Abraham Maslow dalam
mencari alternatif dari dua teori yang sangat berpengaruh atas
pemikiran intelektual dalam psikologi. Kedua teori yang dimaksud
adalah psikoanalisis dan behaviorisme. Maslow menyebut psikologi
humanistik sebagai “kekuatan ketiga” (a
third force). Terapi
humanisitik-eksistensial juga lebih memusatkan perhatian pada apa
yang dialami klien pada masa sekarang “disini dan kini” dan bukan
masa lampau. Ada persamaan antara terapi psikodinamik dengan
terapi-terapi humanistic eksistensial yaitu kaduanya meyakini pada
peristiwa masa lampau dapat mempengaruhi tingkah laku dan perasaan
individu sekarang dan keduanya juga berusaha meningkatkan pemahaman
diri dan kesadaran diri klien. Salah satu terapi humanistik
eksistensial adalah terapi client centered therapy/ person centered
therapy oleh Carl Rogers pada tahun 1942.
Dalil-Dalil
Humanistik Eksistensial
Manusia
memiliki kesanggupan untuk menyadari diri yang menjadikan dirinya
mampu melampaui situasi sekarang dan membentuk basis bagi
aktivitas-aktivitas berpikir dan memilih yang khas manusia. Kesadaran
diri itu membedakan manusia dari makhluk-makhluk lain. Manusia bisa
tampil di luar diri dan berefleksi atas keberadaannya. Pada
hakikatnya, semakin tinggi kesadaran diri seseorang, maka ia semakin
hidup sebagai pribadi yang utuh. Tanggung jawab berlandaskan
kesanggupan untuk sadar. Dengan kesadaran, seseorang bisa menjadi
sadar atas tanggung jawabnya untuk memilih. Peningkatan kesadaran
diri yang mencakup kesadaran atas alternatif-alternatif,
motivasi-motivasi, faktor-faktor yang membentuk pribadi dan atas
tujuan-tujuan pribadi adalah tujuan terapi.
Manusia
adalah makhluk yang menentukan diri, dalam arti bahwa dia memiliki
kebebasan untuk memilih di antara altematif-altematif. Karena manusia
pada dasamya bebas, maka dia harus bertanggung jawab atas pengarahan
hidup dan penentuan nasibnya sendiri. Pendekatan eksistensial
meletakkan kebebasan, determinasi diri, keinginan, dan putusan pada
pusat keberadaan manusia. Pandangan eksistensial adalah bahwa
individu, dengan putusan-putusannya, membentuk nasib dan mengukir
keberadaannya sendiri. Seseorang menjadi apa yang diputuskannya, dan
dia harus bertanggung jawab atas jalan hidup yang ditempuhnya. Tugas
terapis adalah mendorong klien untuk belajar menanggung risiko
terhadap akibat penggunaan kebebasannya. Yang jangan dilakukan adalah
melumpuhkan klien dan membuatnya bergantung secara neurotik pada
terapis. Terapis perlu mengajari klien bahwa dia bisa mulai membuat
pilihan meskipun terapis boleh jadi telah menghabiskan sebagian besar
hidupnya untuk melarikan diri dari kebebasan memilih.
Setiap
individu memiliki kebutuhan untuk memelihara keunikan tetapi pada
saat yang sama ia memiliki kebutuhan untuk keluar dari dirinya
sendiri dan untuk berhubungan dengan orang lain serta dengan alam.
Kegagalan dalam berhubungan dengan orang lain dan dengan alam
menyebabkan ia kesepian dan mengalami keterasingan. Kita
masing-masing memiliki kebutuhan yang kuat untuk menemukan suatu
diri, yakni menemukan identitas pribadi kita. Akan tetapi, penemuan
siapa kita sesungguhnya bukanlah suatu proses yang otomatis, ia
membutuhkan keberanian. Secara paradoksal kita juga memiliki
kebutuhan yang kuat untuk keluar dari keberadaan kita. Kita
membutuhkan hubungan dengan keberadaan-keberadaan yang lain. Kita
harus memberikan diri kita kepada orang lain dan terlibat dengan
mereka. Usaha menemukan inti dan belajar bagaimana hidup dari dalam
memerlukan keberanian. Kita berjuang untuk menemukan, untuk
menciptakan, dan untuk memelihara inti dari ada kita. Salah satu
ketakutan terbesar dari para terapis adalah bahwa mereka akan tidak
menemukan diri mereka. Mereka hanya menganggap bahwa mereka bukan
siapa-siapa. Para terapis eksistensial bisa memulai dengan meminta
kepada para kliennya untuk mengakui perasaannya sendiri. Sekali
terapis menunjukan keberanian untuk mengakui ketakutannya,
mengungkapkan ketakutan dengan kata-kata dan membaginya, maka
ketakutan itu tidak akan begitu menyelubunginya lagi. Untuk mulai
bekerja bagi terapis adalah mengajak klien untuk menerima cara-cara
dia hidup di luar dirinya sendiri dan mengeksplorasi cara-cara untuk
keluar dari pusatnya sendiri. Kebutuhan akan diri berkaitan dengan
kebutuhan menjalani hubungan yang bermakna dengan orang lain. Jika
kita hidup dalam isolasi dan tidak memiliki hubungan yang nyata
dengan orang lain maka kita mengalami perasaan terabaikan,
terasingkan, dan terkucilkan.
Salah
satu karakteristik yang khas pada manusia adalah perjuangannya untuk
merasakan arti dan maksud hidup. Manusia pada dasarnya selalu dalam
pencarian makna dan identitas pribadi. Biasanya konflik-konflik yang
mendasari sehingga membawa orang-orang ke dalam konseling adalah
dilema-dilema yang berkisar pada pertanyaan-pertanyaan eksistensial:
Mengapa saya berada? Apa yang saya inginkan dari hidup? Apa maksud
dan makna hidup saya? Terapi eksistensial bisa menyediakan kerangka
konseptual untuk membantu klien dalam usahanya mencari makna hidup.
Tugas terapis dalam proses terapi adalah membantu klien dalam
menciptakan suatu sistem nilai berlandaskan cara hidup yang konsisten
dengan caraada-nya klien. Terapis harus menaruh kepercayaan
terhadap kesanggupan klien dalam menemukan sistem nilai yang
bersumber pada dirinya sendiri dan yang memungkinkan hidupnya
bermakna. Klien tidak diragukan lagi akan bingung dan mengalami
kecemasan sebagai akibat tidak adanya nilai-nilai yang jelas.
Kepercayaan terapis terhadap klien adalah variabel yang penting dalam
mengajari klien agar mempercayai kesanggupannya sendiri dalam
menemukan sumber nilai-nilai baru dari dalam dirinya.
Kecemasan
adalah suatu karakteristik dasar manusia. Kecemasan tidak perlu
merupakan sesuatu yang patologis, sebab ia bisa menjadi suatu tenaga
motivasi yang kuat untuk pertumbuhan. Kecemasan adalah akibat dari
kesadaran atas tanggung jawab untuk memilih. Kebanyakan orang mencari
bantuan profesional karena mereka mengalami kecemasan atau depresi.
Banyak klien yang memasuki kantor konselor disertai harapan bahwa
konselor akan mencabut penderitaan mereka atau setidaknya akan
memberikan formula tertentu untuk mengurangi kecemasan mereka.
Terapis yang berorientasi eksistensial, bagaimanapun, bekerja tidak
semata-mata untuk menghilangkan gejala-gejala atau mengurangi
kecemasan. Sebenarnya, terapis eksistensial tidak memandang kecemasan
sebagai hal yang tak diharapkan. Ia akan bekerja dengan cara tertentu
sehingga untuk sementara klien bisa mengalami peningkatan taraf
kecemasan.
Kesadaran
atas kematian adalah kondisi manusia yang mendasar yang memberikan
makna kepada hidup. Kematian memberikan makna kepada keberadaan
manusia. Jika kita tidak akan pernah mati, maka kita bisa menunda
tindakan untuk selamanya. Akan tetapi, karena kita terbatas, apa yang
kita lakukan sekarang memiliki arti khusus. Yang menentukan
kebermaknaan hidup seseorang bukan lamanya, melainkan bagaimana orang
itu hidup.
Manusia
berjuang untuk aktualisasi diri, yakni kecenderungan untuk menjadi
apa saja yang mereka mampu. Setiap orang memiliki dorongan bawaan
untuk menjadi seorang pribadi, yakni mereka memiliki kecenderungran
kearah pengembangan keunikan dan ketunggalan, penemuan identitas
pribadi, dan perjuangan demi aktualisasi potensi-potensinya secara
penuh. Jika seseorang mampu mengaktualkan potensi-potensinya sebagai
pribadi, maka dia akan mengalami kepuasan yang paling dalam yang bisa
dicapai oleh manusia. Beberapa ciri pada orang-orang yang
mengaktualkan diri itu adalah: kesanggupan menoleransi dan bahkan
menyambut ketidaktentuan dalam hidup mereka, penerimaan terhadap diri
sendiri dan orang lain, kespontanan dan kreatifitas, kebutuhan akan
privacy dan kesendirian, otomoni, kesanggupan menjalin hubungan
interpersonal yang mendalam dan intens, perhatian yang tulus terhadap
orang lain, rasa humor, keterarahan kepada diri sendiri (kebalikan
dari kecenderungan untuk hidup berdasarkan pengharapan orang lain),
dan tidak adanya dikotomi-dikotomi yang artifisial (seperti
kerja-bermain, cinta-benci, lemah-kuat).
Tujuan
Terapi
Agar
klien mengalami keberadaannya secara otentik dengan menjadi dasar
atas
keberadaan dan potensi-potensi serta sadar bahwa ia dapat
membuka diri dan
bertindak berdasarkan kemampuannya.
Meluaskan
kesadaran diri klien, dan karenanya meningkatkan kesanggupan
pilihan
nya, yakni menjadi bebas dan bertanggung jawab atas arah
hidupnya.
Membantu
klien agar mampu menghadapi kecemasan sehubungan dengan
tindakan
memilih diri, dan menerima kenyataan bahwa dirinya lebih
dari sekedar korban
kekuatan-kekuatan deterministik di luar
dirinya.
Fungsi
dan Peran Terapis
Mengakui
pentingnya pendekatan dari pribadi ke pribadi.
Menyadari
peran dari tanggung jawab terapis.
Mengakui
sifat timbal balik dari hubungan terapeutik.
Berorientasi
pada pertumbuhan.
Menekankan
keharusan terapis terlibat dengan klien sebagai suatu pribadi.
Mengakui
bahwa putusan dan pilihan akhir terletak ditangan klien.
Memandang
terapis sebagai model, dalam arti bahwa terapis dengan gaya hidup
dan pandangan humanistiknya tentang manusia secara implisit
menunjukkan kepada klien potensi bagi tindakan kreatif dan positif.
Mengakui
kebebasan klien untuk mengungkapkan pandangan dan
untuk
Mengembangkan tujuan-tujuan dan nilainya sendiri.
Bekerja
ke arah mengurangi ketergantungan serta meningkatkan
kebebasan
klien.
Kelebihan
Dan Kekurangan Terapi Humanistik Eksistensial
Kelebihan
dari
terapi ini, yaitu : dapat
digunakan bagi klien yang mengalami kekurangan dalam perkembangan dan
kepercayaan diri dan adanya kebebasan klien untuk mengambil keputusan
sendiri. Sedangkan kekurangannya
: tidak
memiliki teknik yang tegas, terlalu
percaya pada kemampuan klien dalam mengatasi masalahnya (keputusan
ditentukan oleh klien sendiri) dan pelaksanaannya memakan waktu yang
lama.
sumber
:
http://www.psychologymania.com/2011/09/psikologi-eksistensial.html
Corey,
Gerald. (1988). Teori dan Praktek Konseling dan
Psikoterapi. Bandung: PT Eresco.